Jakarta — Penyelenggara Konferensi Tenurial akan meluncurkan 10 buku baru bertemakan agraria di hari kedua Konferensi Tenurial atau pada 26 Oktober 2017 di Hotel Luwansa, Jakarta.
Kesepuluh buku tersebut di antaranya karya Andri G Wibisana berjudul Penegakan Hukum Lingkungan melalui Pertanggungjawaban Perdata, buku Hutan Adat Wujud Rakyat Berdaulat Bangsa Bermartabat karya Eka W Soegiri, Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia karya Noer Fauzi Rachman.
Selain itu, ada buku karya Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni berjudul Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik, buku Hadi Daryanto Belajar dari Masa Depan Hutan Kita: Seni Memimpin Perubahan Untuk Perhutanan Sosial.
Ada pula buku Pusaka Agraria Indonesia: Sebuah Kerja Pendahuluan Indonesia karya Adi D Bahri dkk, Mereka yang dikalahkan: Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang karya M Nazir Salim, dan buku karya Chandradewana Boer berjudul Kajian Sosial Politik dan Degradasi Lingkungan Keberadaan Kuasa Pertambangan di Sekitar Hutan Pendidikan dan Penelitian Universitas Mulawarman Bukit Soeharto.
Buku-buku tersebut diterbitkan oleh berbagai penerbitan dan lembaga seperti Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, INSIST, Samdhana Institute, STPN Press, dan Pusat Penelitian Hutan Tropis, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Kordinator Pengelolaan Pengetahuan Konferensi Tenurial, Siti Maimunah, mengatakan, sepuluh buku tersebut digolongkan sebagai karya pusaka agraria karena banyak memotret bagaimana permasalahan-permasalahan agraria yang terjadi di masa lalu hingga kontemporer.
“Buku-buku ini menjadi pijakan dan refleksi untuk penyelesaian permasalahan agraria dan keberhasilan reforma agraria mendatang,” kata Maimunah, Rabu 24 Oktober 2017.
Seperti buku Land reform dan Gerakan Agraria Indonesia yang ditulis Noer Fauzi Rachman. Dalam buku tersebut, akademisi dan aktivis lulusan University of California, Berkeley, USA ini merekam lintasan perjalanan land reform semenjak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945 hingga era setelah Reformasi. Isu land reform saat ini dihidupkan kembali oleh kekuatan gerakan-gerakan agraria, para intelektual publik, dan para pejabat yang peduli pada nasib rakyat miskin perdesaan.
Atau tengok buku Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik. Penulisnya, Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni mengulas bagaimana persoalan subyek hukum masyarakat hukum adat (MHA) yang didengungkan dalam Putusan MK 35/PUU-X/2012. Terbitnya MK 35 tersebut meninggalkan debat hukum yang belum sepenuhnya tuntas. Debat tersebut mencakup konsep dasar subyek hukum, korelasinya dengan pengaturan masyarakat hukum adat saat ini.
Permasalahan penguasaan lahan dalam skala besar dikupas oleh M. Nazir Salim dalam bukunya Mereka yang dikalahkan: Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang. Di buku ini, dia menjelaskan bagaimana penguasaan lahan berskala besar baik untuk perkebunan sawit dan perkebunan kayu di berbagai wilayah Indonesia sejak akhir tahun 1970an, menyasar pada wilayah-wilayah yang memiliki kerentanan sosial ekonomi cukup tinggi dengan mengakuisisi lahan dan mengeksploitasi wilayah hutan.
Siti Maimunah berharap kerja-kerja untuk menekuni pusaka agraria tak boleh berhenti di publikasi tersebut. “Akan tetapi harus dilanjutkan dengan membangun komunitas epistemik di berbagai tempat.
Sebelumnya, penyelenggara Konferensi Tenurial juga telah menerbitkan dan meluncurkan ulang enam buku di Bandung dan Yogyakarta. Keenam buku tersebut diseleksi dari 72 buku dan dianggap sebagai karya-karya monumental agraria dan perhutanan sosial. (Tim Media/17)