Jakarta — Konflik tenurial meningkat drastis dan meluas ke sejumlah wilayah Indonesia. Secara langsung maupun tak langsung, konflik-konflik tersebut telah merugikan masyarakat, pemerintah di daerah serta pengusaha.
Hal itu dijelaskan dalam naskah akademik berjudul “Konflik Tenurial dan Pilihan Penyelesaian Konflik” yang disusun penggiat Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria, Paramita Iswari. Naskah akademik ini telah direview oleh pakar dan telah melalui dikusi terpumpun. Naskah ini akan menjadi bahan diskusi panel dalam Konferensi Tenurial yang berlangsung 25-27 Oktober 2017. Dalam siaran pers Konsorsium Pembaruan Agraria sepanjang tahun 2016, telah terjadi 450 konflik agraria dengan mayoritas konflik terjadi di sektor perkebunan, properti, infrastruktur dan kehutanan. Konflik tersebut meliputi 1,26 juta hektar lahan dan berdampak pada 86.745 keluarga yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Jumlah konflik itu, tulis Paramita, menambah catatan panjang dalam sejarah. Sebab sepanjang 2004- 2014, Komnas HAM, KPA dan WALHI mencatat telah terjadi 1.391 kasus di wilayah seluas 5.7 juta hektar yang melibatkan 926.700 kepala keluarga.
Setiap konflik, berdampak merugikan bagi seluruh pihak. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, konflik agraria telah mengakibatkan 607.886 Ha lahan menjadi tidak produktif sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 146 Triliun. Bagi masyarakat, konflik berdampak besar mengubah kehidupannya. Terutama bagi perempuan dan kelompok marginal lain yang memiliki beban berlapis, konflik makin membuat beban mereka kian berlipat ganda. “Sehingga perempuan dan kelompok marginal lainnya menjadi semakin tersudut dalam menjalani kehidupan,” tulis dalam naskah akademik itu.
Pengusaha juga mengalami dampak atas konflik yang terjadi. Paramita mengatakan, kondisi perusahaan pemegang IUPHHK saat ini mengalami kelesuan karena iklim usaha yang tidak kondusif. Sementara bagi pemerintah, konflik dapat menganggu kinerja pemerintah daerah. Akar konflik antara masyarakat, pemerintah, perusahaan pemegang konsesi dan perusahaan perkebunan terjadi karena negara dan sekelompok kecil perusahaan menikmati rente atas sumberdaya. Sementara masyarakat lokal dengan hak-hak adatnya dipinggirkan sehingga tidak dapat memanfaatkan sumberdaya hutan. Padahal faktanya, masyarakat secara turun temurun telah tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan serta hasil hutan.
Bagi masyarakat yang hidupnya bergantung dengan hutan, beroperasinya konsesi pembalakkan dan perkebunan adalah ancaman terhadap kehidupan mereka. Hal itu membuat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan perusahaan terus bertumbuh semakin intensif. Aksi protes sebagai bentuk perlawanan masyarakat akibat buntunya saluran hukum, justru disambut dengan tindakan keras oleh aparat militer. Sehingga pelanggaran hak-hak asasi manusia sangat umum terjadi dalam setiap konflik tenurial.
Mengutip Wiradi (2009), tulis Paramita, bahwa akar konflik tenurial di Indonesia diakibatkan oleh tiga macam ketimpangan. Yakni, ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah, ketimpangan peruntukan tanah, dan ketidaksesuain persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Sementara menurut Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia (2011), bahwa tumpang tindih klaim atas kawasan hutan terjadi di antaranya akibat legislasi dan kebijakan yang tidak terformulasi jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi dan penafikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya.
“Konflik tersebut sebagian berasal dari kebijakan kehutanan kolonial dan sebagian lain muncul dan bereskalasi di masa kini,” tulis Paramita dalam naskah akademik.
Konflik tenurial kemudian menjadi langgeng karena tidak adanya mekanisme untuk memproses dan menangani keluhan dan penyelesaian konflik secara cepat. Konflik agraria yang bersifat struktural ini akhirnya makin kronis dan meluas karena penanganannya sama sekali tidak kuat.
Sejumlah upaya penyelesaian konflik tenurial setelah Reformasi, sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, akan tetapi banyak yang tak terimplementasi dengan baik. Seperti pada tahun 2001, lahir Ketetapan MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang bertujuan menjadi rujukan dan arah bagi pengaturan tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Kemudian tahun 2011, Kementerian Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan No. SK.199/Menhut-II/2012 tentang Pembentukan Tim Kerja Penyusunan Rencana Makro Tenurial Kehutanan. Namun tim ini tidak dapat bekerja efektif karena berbagai persoalan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengambil inisiatif dengan program Nota Kesepahaman Bersama yang ditandatangani oleh 12 kementerian dan lembaga di Istana Negara tepatnya pada tanggal 11 Maret 2013. Selain itu, pada tahun 2014 lahir kebijakan progresif yaitu Peraturan Bersama Empat Menteri. Peraturan Bersama (Perber) Menteri Kehutanan, Kepala BPN RI, Menteri PU dan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan yang lahir pada 17 Oktober 2014. Awal periode pemerintahan Jokowi-JK, peraturan bersama ini dikawal banyak pihak karena dianggap menjadi salah satu alat untuk penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Bahkan termuat dalam RPJMN 2015-2019. Namun dalam perjalanan, kebijakan yang diinisiasi Kementrian ATR/BPN ini tidak diikuti dengan koordinasi yang baik antar kementerian sehingga menyebabkan pelaksanaannya macet.
Selain itu, transparansi dan konsolidasi data antara kementerian (terutama Kementerian LHK dengan Kementerian ATR/BPN) juga menjadi masalah utama. Walaupun begitu ada kebijakan lain yaitu Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang apabila diimplementasikan dengan baik dan terkonsolidasi dapat menjadi jawaban. (Tim Media/11)