Jakarta — Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan, Indonesia memproduksi banyak undang-undang yang bermuatan pidana sepanjang 1998-2014. Hal itu berkorelasi dengan meningkatnya angka kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pejuang agraria.
Rizki mengungkapkan dalam rentang 1998-2014, eksekutif dan legislatif Indonesia memproduksi 563 undang-undang baru. Dari angka itu, 154 di antaranya bermuatan ketentuan pidana dengan 1601 pasal delik pidana.
Dari 1601 pasal delik pidana terdapat sekitar 716 pasal delik pidana baru yang tidak pernah diatur sebelumnya. Tindak pidana baru tersebut, kata Rizki, 90 persen merupakan ancaman penjara 5 tahun. nampak hukuman kita senang memenjarakan orang.
“Ternyata negara kita ini lebih senang memenjarakan orang,” kata Rizki, dalam diskusi panel 6 Konferensi Tenurial, 26 Oktober 2017.
Di sektor agraria ada empat peraturan perundang-undangan yang sering dilaporkan. Yakni 4 undang2 yang sering dilaporkan UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU P3H, dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keempat undang-undang ini, kata dia, sebenarnya mengandung pelanggaran yang administratf tapi justru diberi sanksi pidana.
Menurut Rizki, banyaknya undang-undang yang dikeluarkan justru menimbulkan masalah-masalah baru. Sebab tidak semua aparat penegak hukum dan masyarakat mengetahui isi undang-undang tersebut. Dampaknya dapat memicu kriminalisasi di masyarakat.
Contoh paling hangat yakni kriminalisasi menimpa Trisno Susilo, masyarakat adat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan. Dia dijerat Pasal 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan padahal pasal tersebut sudah dicabut oleh MK 35/2012.
Untuk menghindari kriminalisasi, kata Rizki, seharusnya ada edukasi bagi penegak hukum di tingkat bawah seperti polsek mengenai peraturan undang-undang yang telah terbit. Selain itu, seharusnya apabila ada konflik atau sengketa agraria, maka penegak hukum harus menghentikan sementara proses pidana.
(Tim Media)