Jakarta — Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sandra Moniaga, mendesak pemerintah RI mendirikan lembaga khusus untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria. Lembaga tersebut harus memiliki kewenangan yang kuat mengingat konflik agraria telah menjadi permasalahan besar di Indonesia dan melibatkan multisektor.
“Konflik-konflik agraria tidak akan selesai dengan tim kecil di bawah kantor staf presiden,” kata Sandra dalam pleno Konferensi Tenurial bertemakan “Realizing Rights: Land Tenure Reform in Indonesia”, Rabu siang 25 Oktober 2017 di Hotel Luwansa, Jakarta. Selain Sandra, pembicara dalam konferensi tersebut yakni mantan hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Sodiki, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi La Ode Muhammad Syarif.
Sandra menjelaskan, gagasan untuk mendirikan lembaga khusus bernama Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria pernah didorong oleh sejumlah akademisi dan penggiat isu agraria pada 2002. Dorongan itu lahir Pascaterbitnya TAP MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Akan tetapi, sejak era Presiden Abdurahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, desakan mendirikan Komnas Penyelesaian Agraria belum terealisasi. Bahkan kabinet di era SBY menolak mendirikan Komnas Penyelesaian Agraria karena menganggap banyak konflik agraria bisa diselesaikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Konflik agraria muncul karena penguasaan tanah yang timpang. Hampir 97 persen tanah di Indonesia dimiliki oleh korporasi, sedangkan tanah rakyat yang diakui negara tersisa hanya 3 persen. Ketimpangan tersebut adalah hasil akumulasi dari kebijakan masa lalu dan pemerintahan saat ini.
Menurut Sandra, ketimpangan penguasaan tanah itu telah terjadi sejak pemerintah Orde Baru. Di mana tanah-tanah yang telah dikerjakan rakyat secara turun temurun, kemudian ditetapkan sepihak sebagai milik negara. Pemerintah kemudian menerbitkan banyak perizinan yang mengalihkan tanah rakyat atau hutan adat kepada korporasi menjadi hak guna usaha (HGU) atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH). “Di sisi lain ada 40 juta hektar tanah dan hutan adat, jadi bayangkan bagaimana tumpang tindihnya persoalan agraria ini,” kata dia.
Pemerintah saat ini, kata Sandra, harus berani mengakui adanya kesalahan-kesalahan dari masa lalu dan melakukan koreksi. Tanpa adanya pengakuan atas kesalahan masa lalu ini, maka pemerintah akan terus terjebak pada konflik yang terus membesar.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Sodiki adalah sosok di balik lahirnya putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang mengakui bahwa hutan adat adalah hak bagi masyarakat adat. MK ini lahir atas judicial review yang diajukan kelompok masyarakat sipil terhadap isi UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adalah milik negara.
Ahmad Sodiki menjelaskan, sebelum MK 35 lahir, masyarakat adat kehilangan haknya atas hutan sebagai ruang hidup turun-temurun. “Padahal hutan adat itu seharusnya adalah hak masyarakat adat yang sudah diakui sejak sebelum indonesia merdeka,” kata guru besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya, Malang ini.
Kasus tersebut, kata Ahmad, menunjukkan bagaimana keluarnya perundangan-undangan bisa memicu konflik agraria. Padahal hukum seharusnya menjadi alat bagi terciptanya keadilan sosial bagi masyarakat. Meski begitu ia merasa prihatin, karena kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi.
Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, La Ode Muhammad Syarif, mengatakan, bahwa lembaganya memberikan perhatian khusus menyangkut persoalan sumber daya alam. Sebab KPK, kata dia, menyadari, bahwa SDA menjadi salah satu penyumbang penting bagi perekonomian Indonesia. “Alasan kedua karena urusan sumber daya alam itu paling korup,” katanya.
Selain tiga pembicara tersebut, pleno juga dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dan Kepala Staf Presiden Teten Masduki. Mereka mengungkapkan problem-problem yang terjadi dalam pelaksanaan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mengakui adanya kesalahan di masa lalu yang menyebabkan konflik agraria saat ini. Akan tetapi pemerintah, tidak dapat mengoreksi seluruh produk kebijakan masa lalu langsung kepada institusi. Namun apabila ada terobosan hukum seperti keputusan MK-35 maka bisa menjadi landasan pemerintah untuk mengoreksi kebijakan dari produk pemerintahan sebelumnya.
“Mengoreksi kesalahan masa lalu itu tidak gampang. Seperti yang sedang kami lakukan di Riau. Memang sulit, tapi kami bisa lakukan,” katanya. (Tim Media)