Jakarta — Direktur Sajogyo Institute, Eko Cahyono, mengatakan, konflik berbasis tenurial dan agraria muncul kian beragam dalam kurun lima tahun terakhir. Konflik tersebut bukan hanya warisan dari periode sebelumnya, akan tetapi juga konflik baru yang dipicu kebijakan pemerintahan Jokowi-JK.
Kenyataan tersebut sangat bertentangan dengan agenda reforma agraria yang ditetapkan sebagai prioritas kebijakan Jokowi-JK dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.
Eko menyampaikan paparannya berjudul “Kaji Ulang Perjalanan Reformasi Tenurial: Pengukuhan Kawasan Hutan, Perluasan Wilayah Kelola Rakyat, dan Resolusi Konflik” di hadapan peserta Konferensi Tenurial di Hotel Luwansa, Jakarta, Rabu 25 Oktober 2017.
Sejumlah kebijakan pemerintahan Jokowi-JK, kata Eko, memicu konflik baru karena lebih menekankan peningkatan infrastruktur sebagai prioritas pembangunan. Praktik percepatan pembangunan infrastruktur tersebut menyusup dan dikemas dengan isu lingkungan dan konservasi agar lebih mudah diterima masyarakat. Eko mencontohkan, kasus kebijakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang memakai kemasan ekowisata.
“Padahal kebijakan KSPN itu topeng bagi pembangunan infrastruktur yang melanjutkan agenda MP3EI dari era SBY-JK,” kata Eko. Ia juga menyinggung sejumlah konflik yang mengorbankan para petani seperti petani Kendeng.
Konferensi Tenurial 2017, menurut Eko, harus mampu mengevaluasi secara kritis dan memperbarui peta jalan yang telah dirumuskan dalam Konferensi Tenurial 2011 di Lombok saat pemerintahan SBY-JK. Sebab pascaKonferensi Tenurial 2011, terjadi perubahan formasi ekonomi politik global dari kapitalisme negara menjadi kapitalisme pasar yang memengaruhi kebijakan secara nasional. Dampaknya terjadi beragam model dan modus baru perampasan tanah dan ruang hidup lainnya.
“Sumber daya alam juga semakin dieksploitasi untuk kepentingan pasar,” kata dosen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor ini.
Di sisi lain, Eko menyambut baik munculnya beragam kebijakan baru yang mendukung perbaikan agenda tenurial pascaKonferensi Tenurial 2011. Di antaranya Putusan MK 35/2012, UU Desa, dan Peraturan Bersama 3 Menteri No 79/2016 untuk penyelesaian konflik tenurial di dalam kawasan hutan. Sayangnya, kata dia, penyelesaian konflik tidak menyentuh akar persoalan. Agenda perbaikan masalah tenurial juga terganggu dengan ego sektoral antar kementerian, kondisi politik yang tak stabil, dan belum singkron dengan pemerintah daerah.
Selain Eko, catatan kritis atas pelaksanaan reforma agraria juga diberikan oleh Guru besar kebijakan kehutanan Institut Pertanian Bogor, Haryadi Kartodiharjo. Menurut Haryadi, percepatan pelaksanaan reforma agraria membutuhkan terobosan hukum, baik untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria dan pengakuan masya rakat adat. Sebab kenyataannya, meski telah terbit Keputusan Mahkamah Konstitusi 35 yang mengakui hutan adat, namun kriminalisasi terus berlangsung.
“Perluasan bantuan hukum harus dilakukan termasuk bersinergi terhadap lembaga penegak hukum,” kata Hariadi.
Masalah-masalah lain, kata Hariadi, juga muncul dari berbagai diskusi dan panel yang digelar sebelum konferensi. Hariadi menyinggung soal pentingnya integrasi agenda reforma agraria sejak dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa. Sebab pascaterbitnya UU Desa, agenda Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial menghadapi tantangan baru mulai aspek sosial, ekonomi, dan politik di desa.
Hal penting lain yang akan dibahas di Konferensi Tenurial 2017, kata dia, adalah bagaimana pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam dan peran swasta di dalamnya.