Bogor — Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengkritik, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang masih setengah hati melaksanakan reforma agraria. Padahal pemerintahan saat ini mengklaim menjadikan reforma agraria sebagai kebijakan prioritas nasional.
“Politicall will pemerintah belum kuat. Yang dilaksanakan bukan reforma agraria, tapi sekedar kebijakan agraria atau kebijakan soal tanah,” kata Dewi dalam seminar “Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan: Peluang dan Tantangan” di IPB International Convention Center, 23 Oktober 2017. Seminar tersebut digelar menjelang Konferensi Tenurial pada 25-27 Oktober 2017 di Jakarta.
Pernyataan Dewi tersebut untuk menanggapi tiga pemakalah seminar sesi pertama yang membahas “Dua Komponen Reforma Agraria: Asset Reform dan Access Reform”. Tiga pemakalah itu yakni Amir Mahmud dari Sajogyo Institute, Satyawan Sunito dari Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB dan Martua Sihaloho yang juga dari FEMA IPB.
Pemerintah, kata Dewi, memang memiliki konsep dan kelembagaan untuk melaksanakan reforma agraria. Akan tetapi, belum ada Peraturan Presiden tentang reforma Agraria yang diterbitkan Jokowi-Jk. Sehingga kelembagaan yang dibangun hanya bersifat parsial dan setengah-setengah. Padahal, reforma agraria merupakan pekerjaan besar yang harus terintegrasi dengan program kerja sejumlah kementerian.
“Reforma agraria tidak bisa dilaksanakan oleh pokja-pokja setiap kementerian secara terpisah,” kata Dewi.
Selain belum adanya perpres, Dewi menjelaskan, reforma agraria tidak dibarengi dengan moratorium pengusaan lahan oleh korporasi besar seperti perkebunan sawit yang menjadikan ketimpangan struktur agraria semakin besar. Penggusuran terhadap petani dan lahan pertanian untuk pembangunan yang makin masif saat ini juga dinilai bertolak belakang dengan semangat reforma agraria. Dia mencontohkan bagaimana 10 desa telah diratakan demi pembangunan bandara internasional Jawa Barat dan tersisa Desa Sukamulya yang memilih mempertahankan tanah dan kampungnya.
Dalam penanganan konflik agraria, pemerintah dan aparat keamanan dinilai masih menggunakan cara-cara represif atau dengan kekerasan. Dewi menyebut ada 177 petani di tahun 2017 yang dipidana saat sedang berjuang mempertahankan sumber-sumber agraria.
Pelaksanaan reforma agraria pun selama ini dianggap hanya terjebak pada sertifikasi tanah. Termasuk program legalisasi 3,9 juta ha dari 9 juta hektar Reforma Agraria yang dicanangkan Jokowi-Jk hingga tahun 2019.
Padahal menurut Dewi, tahapan awal reforma agraria bukan sertifikasi tanah melainkan penataan ulang sumber agraria melalui registerasi. Dengan registerasi, akan muncul data mengenai titik-titik ketimpangan pengusaan dan pengolahan tanah. Sehingga dapat diketahui sebaran petani gurem, petani berlahan kecil, dan kantong-kantong kemiskinan di setiap kabupaten dan provinsi.
Direktur Landreform Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Budi Suryanto, menjelaskan, draft Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria awalnya telah final namun ada perkembangan dalam perjalanannya. Yakni terbitnya Peraturan Presiden No 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Setelah terbit Perpres 88 itu, pemerintah kembali menyesuaikan dengan draft Perpres Reforma Agraria dan melakukan harmonisasi secara makro di tingkat kementerian hingga pemerintah daerah. “Draft Perpres Reforma Agraria akan dibahas kembali dengan lintas kementerian,” kata Budi yang juga hadir dalam seminar tersebut.
Namun Budi mengakui pelaksanaan reforma agraria belum maksimal karena belum didukung oleh semua pihak, salah satunya pemerintah daerah. Hanya sebagian kecil pemerintah daerah yang memberikan respon positif untuk melaksanakan reforma agraria seperti Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sigi dan Gorontalo.
“Belum semua pemerintah daerah paham reforma agraria,” kata dia.
Seperti diketahui, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta hektar dengan skema 4.5 juta hektar sebagai redistribusi tanah, dan sisanya sebagai legalisasi aset. Selain itu juga terdapat skema Perhutanan Sosial seluas 12.7 juta ha.
Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang, menunjukkan, 655.605 ha tanah baru terlegalisasi hingga September 2017 dari target 3,9 juta ha hingga 2019. Untuk TORA tanah transmigrasi baru 3.820 ha yang terlegalisasi dari 0,6 juta ha. Sedangkan redistribusi dari hak guna usaha yang habis dan tanah terlantar bar mencapai 188.295 ha dari target 0,4 juta ha. Terakhir, redistribusi dari pelepasan kawasan hutan belum berjalan dari target 4,1 juta ha.
(Tim Media/13)