Bogor — Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (PSA-IPB), Sajogyo Institute, Samdhana Institute, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar seminar bertajuk “Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan: Peluang dan Tantangan” pada Senin-Selasa, 23-24 Oktober 2017. Seminar ini akan merefleksikan perjalanan kebijakan reforma agraria, utamanya di sektor-sektor yang belum banyak dikaji seperti di kawasan pesisir, perkotaan dan perkebunan.\
Ketua panitia seminar, Adi D. Bahri, mengatakan, seminar reforma agraria ini menjadi salah satu kegiatan sebelum berlangsungnya Konferensi Tenurial pada 25-27 Oktober 2017 di Jakarta. Seminar yang akan dihelat di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, ini mengangkat beberapa topik kajian yang diisi oleh para pakar agraria dari kalangan akademisi dan lembaga penelitian.
Pada sesi satu hari pertama, akan membedah bagaimana pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) 2006-2014, skema kemitraan pelaksanaan reforma agraria dan urgensi reforma agraria di kawasan transmigrasi.
Sesi kedua, mengkaji pelaksanaan reforma agraria di pedesaan dan wilayah adat. Sedangkan sesi ketiga, akan mengkaji pelaksanaan reforma agraria di kawasan pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sementara di hari kedua, seminar akan membedah pelaksanaan reforma agraria di kawasan perkotaan, perkebunan dan ekosistem gambut.
Adi menjelaskan, seminar tersebut bertujuan untuk mengevaluasi perjalanan kebijakan reforma agraria dan merumuskan jawaban atas tantangan pelaksanaan reforma agraria ke depannya. Hal penting lain yakni menghasilkan rumusan tentang mekanisme pelaksanaan reforma agraria di luar kawasan hutan, seperti di sektor perkotaan, perkebunan, gambut dan kawasan transmigrasi.
“Isu reforma agraria di luar kawasan hutan belum banyak dikaji, terutama di kawasan transmigrasi,” kata penggiat Sajogyo Institute ini, Minggu 22 Oktober 2017.
Selama ini, kata Adi, perhatian pelaksanaan reforma agraria lebih banyak tercurahkan pada kawasan perdesaan dan kehutanan. Padahal reforma agraria seharusnya menyangkut keseluruhan ruang hidup. Apalagi, di kawasan-kawasan tersebut konflik agraria sering kali terjadi. Sehingga pelaksanaan reforma agraria yang diprogramkan pemerintah semestinya juga menyasar kawasan luar hutan.
Seperti diketahui, beberapa tahun terakhir ini telah lahir beberapa tonggak penting politik agraria nasional. Pertama putusan Mahkamah Konsitusi No.35/PUU-X/2012 yang menganulir hutan adat sebagai hutan negara dan mengembalikannya sebagai hutan hak. Kemudian terbit UU No.6/2014 tentang Desa yang menyatakan kesatuan MHA dapat ditetapkan sebagai desa adat dengan hak asal-usul, kekuasaan dan otoritas tersendiri.
Presiden Jokowi menargetkan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta hektar dengan skema 4.5 juta hektar sebagai redistribusi tanah, dan sisanya sebagai legalisasi aset. Selain itu juga terdapat skema Perhutanan Sosial seluas 12.7 juta ha.
Seminar reforma agraria tersebut akan diikuti oleh 80 peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, peneliti, pemerintah daerah dan wakil kementerian. Hasil dari seminar ini akan menjadi bahan diskusi panel dua tentang “Percepatan Reforma Agraria untuk Mengatasi Ketimpangan Struktur Agraria dan Kesenjangan Ekonomi” dalam Konferensi Tenurial. (Tim Media/12)