(STPN) Yogyakarta, mengikuti napak tilas ke Waduk Kedungombo di Kecamatan Sumberlawan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 11 Oktober 2017. Kegiatan ini untuk merefleksikan bagaimana dampak pembangunan yang masih dirasakan oleh warga lokal hingga saat ini.
Napak tilas ini menjadi bagian dari pra-konferensi Tenurial. Waduk Kedungombo dipilih sebagai situs pengetahuan yang memiliki kisah perjuangan agraria sejak tahun 1983. Peneliti Intitute for Research and Empowerment (IRE), Rajif Driangga, narasumber dalam napak tilas tersebut menjelaskan, tujuan pembangunan waduk seluas 6.576 ha ini awalnya terdengar mulia. Antara lain untuk pengendalian banjir, membangun PLTA berdaya 22,50 Mega Watt dan mencukupi kebutuhan air bersih warga.
Akan tetapi, demi proyek mercusuar ini, pemerintah Orde Baru menggusur 6 ribu keluarga dengan menenggelamkan 37 desa. Warga dipindah paksa dengan ganti rugi hanya Rp 250 per meter persegi dari seharusnya Rp 10 ribu per meter persegi. Merasa dirugikan, warga terdampak kemudian melakukan perlawanan besar-besaran. Tragedi ini dikenal publik hingga sekarang dengan nama “Geger Kedungombo”.
“Meski saat itu banyak terror, stigmatisasi, dan intimidasi tidak menyurutkan perlawanan warga,” kata Rajif.
Perlawanan warga setempat tak surut meski waduk diresmikan pada 14 Januari 1989, hingga memantik dukungan luas dari para aktivis, agamawan, dan akademisi. Bahkan, warga sekitar tetap berjuang hingga saat ini. Sejumlah media massa memberitakan, bahwa 50 warga sekitar waduk mendatangi gedung DPRD Sragen pada 17 Juli 2017. Mereka menuntut uang ganti rugi dan tindak lanjut adanya kekerasan selama proses pembebasan lahan puluhan tahun silam.
Waduk Kedungombo tidak hanya dikenang sebagai situs penggusuran, akan tetapi juga telah melahirkan banyak pejuang agraria baik dari kalangan aktivis maupun masyarakat. Selain itu, situs ini menjadi rujukan karena melahirkan perubahan kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Lahirnya megaproyek seperti Waduk Kedungombo, harus diwaspadai agar tidak berulang di daerah lain sekaligus menjadi pengingat bagi pemerintah, termasuk pemerintah saat ini dengan Nawacita-nya.
Rajif juga mendorong agar para peserta melakukan penelitian terbaru mengenai dampak sosial dan ekologi atas pembangunan waduk tersebut terhadap masyarakat sekitar. “Misalnya dampak pembangunan waduk terhadap kehidupan petani,” kata dia.
Dengan menelisik historis gagasan dan belajar dari laku keteladanan diharapkan dapat memantik ulang nilai-nilai, prinsip-prinsip, spirit dasar dan cita-cita besar dari upaya mewujudkan Reforma Agraria sejati.
Selain napak tilas, pra-Konferensi Tenurial sendiri diisi dengan beragam kegiatan seperti sarasehan, Festival Karya Pusaka Agraria dan seminar Reforma Agraria. Sedangkan puncak Konferensi Tenurial akan dilangsungkan 25-27 Oktober 2017 di Jakarta. (Tim Media/01)