Jakarta — Pengakuan tenurial bagi masyarakat lokal tak bisa dipisahkan dalam upaya penanganan perubahan iklim. Akan tetapi selama ini, banyak hambatan untuk mengintegrasikan kedua agenda tersebut.
Bagaimana implementasi reformasi tenurial dalam konteks perubahan iklim itu dikaji dalam naskah akademik berjudul Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan Iklim. Naskah akademik yang disusun Gamma Galudra dari ICRAF tersebut akan menjadi bahan diskusi panel dalam Konferensi Tenurial. Sebelumnya, naskah akademik ini telah direview oleh para pakar dan dibahas dalam diskusi terpumpun.
Dalam naskah akademik tersebut dijelaskan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dan 41% dengan dukungan internasional di atas skenario Business as Usual pada tahun 2030, seperti tercantum dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution).
Indonesia mengambil posisi penting dalam isu perubahan iklim, sebab tingkat deforestasi di Indonesia tercepat di dunia. “Lebih dari 1.000 km persegi hutan dengan 476 km persegi hutan primer di dalamnya hilang per tahun antara tahun 2000-2012,” tulis dalam naskah akademik.
Hasil studi menunjukkan, bahwa salah satu kendala utama dalam implementasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) di tingkat lokal adalah ketidakpastian tenurial, termasuk risiko perampasan tanah oleh pihak luar dan hilangnya hak masyarakat terhadap lahan dan sumberdayanya. Padahal hak tenurial yang jelas dan terjamin merupakan prasyarat untuk memasuki skema pembayaran bersyarat dalam skema REDD+.
Perdebatan tenurial hutan dan lahan di Indonesia memiliki tiga komponen utama: pengakuan hak masyarakat adat, perjanjian perhutanan sosial dan reforma agraria. Kebijakan perubahan iklim memiliki tiga komponen utama: mitigasi, adaptasi atau kerentanan, dan pertumbuhan hijau.
Ada beragam penelitian yang menjelaskan, mengapa kepastian tenurial bagi masyarakat berperan penting dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Sebab jaminan kepastian tenurial bagi masyarakat, akan mampu membantu mengurangi deforestasi, meningkatkan sumber penghidupan masyarakat, keanekaragaman hayati dan konservasi hutan serta menurunkan biaya monitoring karbon hutan dalam skema MRV.
Inisiatif reformasi tenurial hutan dan agraria sebenarnya telah digagas sejak tahun 2011 pada saat Konferensi Tenurial pertama di Lombok. Pemerintahan kemudian menargetkan 12.7 juta hektar lahan hutan dalam program Perhutanan Sosial dan reforma agraria seluas 9 juta hektar.
Namun implementasi reformasi tenurial hutan menghasilkan beragam dampak dan belum mencapai target yang diharapkan. Hal ini terjadi akibat tidak terkoordinasinya gerakan masyarakat sipil dalam menjalankan gagasan reformasi tenurial hutan dan agraria. Kondisi ini juga berlaku di lembaga pemerintahan.
Isu tenurial dan perubahan iklim menjadi domain kebijakan nasional yang berdampak terhadap tutupan lahan dan penggunaan lahan, yang terkait erat dengan mata pencaharian di hutan, pedesaan, dan perkotaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengakuan dan jaminan kepastian tenurial bagi masyarakat untuk turut serta mengelola hutan secara berkelanjutan.
Namun ada kesenjangan pengetahuan bagaimana masyarakat melalui pengakuan hak tenurial mampu berpartisipasi dalam pengendalian perubahan iklim. Kesenjangan pengetahuan ini adalah penyebab atas kebuntuan reformasi tenurial atas hutan dan Lahan dalam agenda perubahan iklim.
Untuk mengintegrasikan agenda reformasi tenurial dengan isu perubahan iklim, ada tujuh isu yang harus menjadi fokus. Ketujuh isu tersebut antara lain:
1. Konflik dan konsep tenurial,
2. Definisi hutan (biofisik, kewenangan manajemen) dan ‘pepohon di luar hutan’,
3. Lemahnya legalitas dan legitimasi pengukuhan kawasan hutan,
4. Tata kelola polisentrik dengan pergeseran dan penataan kembali wewenang dan tanggung jawab antara skala (lokal sampai nasional) dan sektor (kehutanan versus penggunaan lahan lainnya),
5. Kurangnya keterwakilan peta tenurial masyarakat dalam Kebijakan Satu Peta (One Map Policy),
6. Ketidakjelasan rencana tata ruang yang ada sebagai dasar hak dan investasi,
7. Ketidakjelasan skema distribusi bagi hasil dalam skema REDD+.
Kajian dalam naskah akademik ini akan diperdalam dalam diskusi panel dalam Konferensi Tenurial pada 25-27 Oktober 2017. (Tim Media/09)