Jakarta — Masyarakat adat di Indonesia tak hanya rentan kehilangan tanahnya, melainkan juga sering menjadi korban kriminalisasi. Karakter hukum pidana yang pada awalnya bersifat mencegah dan menciptakan keadilan, berubah menjadi ‘monster’ yang menakutkan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.
Bagaimana kriminalisasi yang sering menimpa masyarakat adat dan lokal itu dikaji dalam naskah akademik berjudul Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Penegakkan Hukum . Naskah akademik yang disusun Franky Butar Butar dari Universitas Airlangga dan Rahma Mary dari YLBHI tersebut akan menjadi bahan diskusi panel dalam Konferensi Tenurial. Sebelumnya, naskah akademik ini telah direview oleh para pakar dan dibahas dalam diskusi terpumpun.
Mengutip data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Franky dan Rahma menyebutkan, sebanyak 125 masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di berbagai daerah mulai Bengkulu, Sumatera Selatan, hingga Nusa Tenggara Timur. Mereka dikenai pasal-pasal pidana dalam UU No. 41/1999 dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Di luar kasus-kasus kehutanan, Data AMAN 2017, menyebutkan, ada 210 kasus kriminalisasi masyarakat di sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan.
Contoh kasus kriminalisasi tersebut, di antaranya, menimpa 3 orang masyarakat Desa Surokonto Wetan Kecamatan Pangeruyung, Kabupaten Kendal pada 2015. Mereka disangkakan melanggar UU No. 18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H).
Kriminalisasi lain menimpa Trisno Susilo, seorang pimpinan masyarakat adat Dayak Meratus Kalimantan Selatan pada 2017. Awalnya ia menjadi tersangka pada 2011 karena dituduh menduduki dan mengerjakan kawasan hutan. Tetapi, saat itu kasusnya tidak berlanjut. Enam tahun kemudian, polisi kembali membuka kasus tersebut ketika masyarakat adat Dayak Meratus kembali mempersoalkan hutan adat mereka paska putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41/1999.
Kriminalisasi terhadap para pejuang agraria, digolongkan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum. ” Pasal 9 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi,” tulis Franky dan Rahma dalam naskah akademik.
Kriminalisasi itu mengabaikan fakta bahwa masyarakat-masyarakat adat di Indonesia digolongkan sebagai indigenous peoples seperti yang tertuang dalam Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diresmikan pada tahun 2007. Hak masyarakat adat juga terkandung dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (ekosob), sedangkan hak-hak atas tanah masyarakat adat terkandung dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Sementara hak ekosob yang paling esensial bagi masyarakat adat adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (rights to self determination) dan hak atas tanah dan sumber daya alam (right to land and natural resources). Kedua hak ini penting karena tergolong sebagai hak-hak kolektif yang menjadi dasar atau landasan perjuangan masyarakat adat.
Hak-hak tersebut terkandung dalam bagian pertama pasal 1 ayat 1 Kovenan Ekosob yang berbunyi: “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri atas kekuatan itu, mereka dengan bebas menentukan status politiknya dan bebas mengejar perkembangan ekosob mereka sendiri.” Kedua hak kolektif tersebut dikuatkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 1803 (XVII) 1962 yang menyatakan bahwa kedaulatan permanen atas sumber daya alam merupakan konsekuensi logis dari hak penentuan nasib sendiri. Hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan nasional tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dan lokal telah dimulai sejak Orde Baru. Pemerintah Orde Baru saat itu lebih memberi kemudahan kepada para perusahaan ekstraksi dengan memfasilitasi proses pelepasan tanah-tanah ulayat secara mudah. Terbitnya UU No. 5/1979 tentang Desa akhirnya mengubah desa yang beragam menjadi seragam dan mengubah masyarakat tradisional atau masyarakat adat menjadi modern.
“Hal ini telah melemahkan, menghilangkan, bahkan menghancurkan struktur dan susunan asli masyarakat adat dan hak ulayatnya,” tulis dalam naskah akademik.
Paska Reformasi, sebenarnya terbit UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Akan tetapi, muncul seperangkat undang-undang lain yang menjadi pintu kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal seperti UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan UU No. 18/2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan.
Karakter hukum pidana dalam seperangkat undang-undang itu, mengakibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki posisi lemah dan kurangnya akses pendidikan hukum, tersandera atas nama penegakan hukum pidana bahkan atas nama perlindungan dan atau konservasi lingkungan.
Sejumlah masyarakat sipil memang telah berupaya melakukan gugatan hukum atas produk undang-undang itu. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 21 dan pasal 47 ayat 1 dan 2 UU No.18/2004 tentang Perkebunan melalui Judicial Review yang dilakukan PiLNet. Sedangkan AMAN telah berhasil membuat gebrakan monumental dengan dibatalkannya pasal 1 angka 6 UU Kehutanan melalui judicial review yang dilakukan pada tahun 2012. Tetapi, nyatanya pembatalan sejumlah pasal tersebut tidak membuat kriminalisasi terhadap masyarakat adat berakhir. (Tim Media/10)