Bandung — Terbitnya TAP MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sejatinya menjadi momen tepat untuk mewujudkan keadilan agraria setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Akan tetapi hingga 16 tahun kemudian, TAP MPR tersebut belum menjadi landasan untuk mengakhiri ketimpangan agraria di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, Ida Nurlinda, mengangkat pentingnya TAP MPR Nomor 9 itu ke dalam bukunya berjudul Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Buku yang diangkat dari disertasinya ini awalnya diterbitkan oleh Rajawali Press pada 2009.
Buku yang memotret mengenai masalah-masalah pertanahan dari perspektif hukum tersebut, terpilih sebagai karya pusaka agraria oleh penyelenggara Konferensi Tenurial 2017. Penyelenggara konferensi kemudian menerbitkan dan meluncurkan ulang buku tersebut di Kampus Dago FISIP Universitas Padjajaran Bandung, 17 Oktober 2017.
Buku ini terdiri atas lima bab yakni tentang Perspektif Hukum, Sistem Hukum Tanah Nasional, Pembaruan Agraria sebagai Konsep Pembangunan Pertanahan Nasional, Prinsip Keadilan dan Prinsip Demokratis dalam Pembaruan Agraria, dan Prinsip Keberlanjutan dalam Pembaruan Agraria.
Dalam buku ini, Ida menjelaskan, ada pola-pola penguasaan dan pemanfaatan tanah yang tidak seimbang. Di satu sisi sebagian kecil orang menguasai tanah yang cukup luas, sedangkan banyak orang yang tidak memiliki tanah atau mempunyai tanah dalam skala kecil yang tak layak untuk digarap. Pola-pola penguasaan tanah selama ini bertumpu pada korporasi, padahal tanah-tanah tersebut tidak dimanfaatkan secara benar.
“Artinya kalau seseorang atau sebuah korporasi menguasai tanah dalam jumlah di atas 100 hektar, maka yang dimanfaatkan paling hanya 10%. Selebihnya sertifikat dari tanah itu diagunkan ke bank,” kata perempuan kelahiran Bandung, 28 Juli 1962 ini dalam acara peluncuran buku tersebut.
Ketidakadilan Agraria itu, menurut Ida, muncul akibat dari akumulasi persoalan-persoalan pada era Orde Baru. Tanah sebagai sumber daya alam itu dipakai untuk mendukung pembangunan, namun pembangunan tersebut hanya ditujukan bagi kepentingan segelintir orang. Pola penguasaan yang timpang ini didukung oleh kediktatoran rezim Orde Baru, yang ternyata juga muncul di rezim Reformasi.
“Sedangkan konsep keadilan agraria adalah menghindari terjadinya penumpukan penguasaan tanah secara luas hanya pada seseorang atau sekelompok orang,” kata dia.
Ida yang pernah menjabat dekan Fakultas Hukum Unpad periode 2009 – 2013 itu, mengatakan, terbitnya TAP MPR Nomor 9 Tahun 2001 menjadi momen tepat untuk mencapai keadilan agraria setelah lengsernya Soeharto. TAP MPR itu memperkuat UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang tidak dijalankan selama Orde Baru.
TAP MPR tersebut mengandung tiga prinsip utama dalam pembaruan agraria yakni demokratis, berkeadilan, dan berkelanjutan. Demokratis berarti adanya kesetaraan stakeholders, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan pemerintahan yang bersih. Termasuk juga memberi jaminan bagi masyarakat kecil, masyarakat hukum adat, dan masyarakat minoritas agar dapat mengakses sumber daya alam.
Berkeadilan artinya terkait dengan inter dan antar-generasi dalam mengakses sumber daya alam. Sedangkan prinsip keberlanjutan terkait dengan dimensi kelestarian fungsi dan manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna.
“Intinya pengelolaan sumber daya alam yang salah akan berdampak pada terjadinya praktik-praktik korupsi yang merusak secara masif tatanan masyarakat dan lingkungan,” kata Ida yang menjabat Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Unpad ini.
Akan tetapi, kata Ida, implementasi TAP MPR tersebut sangat lemah sehingga ketimpangan dan konflik agrarian terus berlangsung di Indonesia.
“Aturan dan implementasi kerap kali tidak beriringan, itulah pengaruh dari politik hukum yang sangat kuat.”
Selain buku Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum karya Ida Nurlinda, penyelenggaran Konferensi Tenurial juga menerbitkan dua buku lain di Bandung, yakni Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan karya Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, serta buku Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia karya Arief C Budiman dan Olle Tornquis. Kegiatan ini sebagai rangkaian dari Konferensi Tenurial yang dihelat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kantor Staf Presiden RI serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial yang puncaknya pada 25-27 Oktober 2017. (Tim Media/08)