Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kantor Staf Kepresidenan (KSP), dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial menyelenggarakan Konferensi Tenurial pada 25-27 Oktober 2017 di Jakarta. Salah satu tujuan Konferensi tersebut untuk melakukan peninjauan ulang dan revisi peta jalan tenurial yang dikembangkan pada masa pemerintahan sebelumnya.
Pemaparan mengenai Konferensi Tenurial 2017 dilakukan melalui konferensi p
ers pada Selasa (24/10) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Usep Setiawan, Ketua Organizing Committee Konferensi Tenurial 2017 Apik Karyana, Dewi Kartika dan Mardhatilla dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, mengatakan, Konferensi Tenurial diselenggarakan untuk mewujudkan cita-cita menuju pembangunan yang berkeadilan. Konferensi ingin memastikan hak untuk reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan di Indonesia yang diyakini merupakan jalan utama untuk menutupi kesenjangan pembangunan khususnya di perdesaan telah terpenuhi.
“Ini sebagai jalan mewujudkan janji Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo,” kata Usep dalam konferensi pers, Selasa.
Pemerintah telah menargetkan Perhutanan Sosial seluas 12,7 hektar dan Tanah Obyek Reforma Agraria seluas 9 juta hektar terpenuhi hingga 2019. Upaya tersebut untuk menjawab tantangan atas beragam pola penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam rakyat secara lestari di perdesaan seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah persawahan, perkebunan rakyat, wana tani rakyat dan wilayah adat.
Konferensi Tenurial 2017 akan dihadiri sekitar 500 peserta dan 90 orang narasumber dalam dan luar negeri. Mereka akan membahas 11 tema-tema kunci yaitu (1) Percepatan Pencapaian Target Perhutanan Sosial; (2) Percepatan Reforma Agraria untuk Mengatasi Ketimpangan Struktur Agraria dan Kesenjangan Ekonomi; (3) Pengakuan Hutan Adat untuk Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Pendistribusian Manfaat; (4) Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan Iklim.
Tema berikutnya yakni (5) Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi: Pengakuan dan Peran Masyarakat dan Komunitas Lokal; (6) Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Penegakan Hukum; (7) Konflik Tenurial dan Pilihan Penyelesaian Konflik; (8) Ragam Tenurial untuk Melindungi, Mengelola, dan Memulihkan Gambut; (9) Pengembangan Ekonomi Berbasis Masyarakat Melalui Ragam Inovasi dan Investasi UMKM Kehutanan; (10) Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial dan HAM; (11) Ragam Persoalan Tenurial di Kawasan Hutan Lindung dan Taman Hutan Raya.
Ketua organizing committee, Apik Karyana, menjelaskan, peta jalan yang dihasilkan dalam Konferensi Tenurial ini sangat penting untuk kelanjutan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Apik menjelaskan, penguasaan hutan, tanah dan tata pemerintahannya merupakan komponen utama dalam memberikan kesempatan pada kelompok yang dipinggirkan agar mendapat aksesnya pada alat-alat produksi seperti kepastian tanam, modal dan tenaga kerja beserta pengetahuannya.
“Harapannya dapat membuka kesempatan baru ekonomi rakyat berdasarkan prinsip keadilan dan kelestarian menuju pembangunan berkeadilan,” kata Apik.
Dewi Kartika dari Koalisi Masyarakat Sipil, memandang konferensi ini sebagai suatu kesempatan untuk mensinergiskan kerja-kerja masyarakat sipil dengan sejumlah kementerian dalam rangka percepatan reforma agraria. Koreksi kebijakan dan implementasi reforma agraria agar selaras dengan prinsip dan tujuan reforma agraria itu sendiri. Sehingga kegiatan ini diharapkan dapat meluruskan kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria yang dianggap masih belum menyentuh area-area konflik agraria.
Sedangkan Mardha Tilla menjelaskan, bila RAPS diterapkan pada kelompok marginal, di antaranya adalah perempuan terutama dari kelas non-elit, akan menjadi salah satu jawaban siginifikan pada pengurangan ketimpangan pemerataan kesejahteraan—rasioGini—yang menjadi perhatian pemerintah selama ini.
Tilla mengatakan, seluruh pihak harus melibatkan perempuan, dan kelompok marginal lainnya, menjadi inti dari implementasi RAPS tersebut. Selanjutnya juga, perlu dipikirkan mengenai keberlanjutan program pascalegalisasi wilayah-wilayah yang diredistribusi dan diberi izin PS, yaitu pemberdayaan ekonomi dan regenerasi aktor-aktor utama RAPS.
Rumusan peta jalan tersebut akan memandu pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil dan para pelaku usaha dalam mendukung program-program reformasi penguasaan lahan dan pengelolaan hutan yang memberikan ruang dan peran yang lebih besar kepada rakyat.
Konferensi Tenurial ini diselenggarakan dengan sejumlah rangkaian praacara sejak 6 September 2017. Antara lain berupa Sarasehan Pesona dan Festival Karya Pusaka. Festival Karya Pusaka tersebut diisi dengan peluncuran enam buku pusaka agraria, kuliah umum sejumlah pakar, napak tilas situs pengetahuan agraria, lomba resensi buku dan diskusi terpumpun (FGD). Selain itu pada 23-24 Oktober 2017 juga diselenggarakan seminar bertajuk “Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan: Peluang dan Tantangan” di IPB International Convention Center.