Oleh: Parid Ridwanuddin*
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah memasukkan sejumlah rancangan omnibus law ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2020. Rancangan omnibus law adalah Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, Undang- Undangn Perpajakan, Undang-Indang Ibu Kota Negara, dan Undang-Undang Kefarmasian. Secara umum, omnibus law ini memiliki dua kelemahan mendasar, yaitu partisipasi publik dan substansi.
Dari sisi partisipasi, rancangan undangan-undang itu jelas-jelas tidak melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir. Padahal, di dalam rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja terdapat sejumlah pasal yang terkait dengan investasi atau kemudahan berusaha di kawasan laut. Jumlahnya sebanyak 27 pasal dan 87 ayat, terhitung mulai dari Pasal 94 sampai dengan Pasal 121.
Selain itu, di dalam rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja disebutkan sejumlah kata yang terkait dengan laut, yaitu “kelautan” sebanyak 3 kata, “perikanan” sebanyak 120 kata, “pesisir” sebanyak 31 kata, dan “pulau-pulau kecil” sebanyak 30 kata. Pada titik ini, rancangan undang-undang tersebut sesungguhnya akan memberikan dampak terhadap masyarakat pesisir, karena kemudahan berusaha yang diberikan untuk investor akan berada di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Sungguh sangat ironis, ketika Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 yang menunjuk 127 orang menjadi anggota satuan tugas bersama Pemerintah serta Kamar Dagang dan Industri untuk konsultasi publik atas rancangan omnibus law tersebut. Komposisi satua tugas ini, didominasi oleh pengusaha, politikus, dan sedikit akademikus. Dari sisi ini, aspek partisipasi publik dalam rancangan omnibus law tidak ada karena tanpa keterlibatan masyarakat pesisir yang akan terkena dampak.
Dari sisi substansi, rancangan omnibus law sangat penting untuk dikritik karena disusun bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir. Apa saja persoalan rancangan ini dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir?
Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat sejumlah dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika rancangan omnibus law disahkan. Pertama, nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 gross tonnage serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Tak hanya itu, rancangan omnibus law menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Padahal nelayan kecil dan nelayan tradisional diperlakukan khusus oleh Undang-Undang Perikanan, karena mereka ramah lingkungan dan tidak mengekploitasi sumber daya perikanan.
Kedua, rancangan omnibus law ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K). Sampai akhir tahun 2019, sebanyak 22 Provinsi di Indonesia telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Zonasi). Artinya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.
Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah alasan. Pertama. tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.
Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis. Keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. Kelima, mencampuradukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal- kapal besar.
Dengan peta permasalahan seperti itu, maka masa depan masyarakat pesisir, khususnya lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Dengan kata lain, tak ada alasan bagi masyarakat pesisir untuk menerima rancangan omnibus law yang terkait dengan kehidupan mereka. (*)
*Penulis adalah Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Sumber: Koran Tempo, Jum’at 24 Januari 2020, Edisi No. 6332 Tahun XIX, Rubrik Opini, hal. 10