Adanya pandemi CoVid-19 tidak hanya merombak kondisi kesehatan dan ekonomi rakyat Indonesia dan dunia, melainkan juga sebagai bagian dari momen melahirkan sejumlah kebijakan yang merugikan masyarakat hukum adat dan merusak lingkungan. Hal tersebut diungkap dalam laporan yang disusun Asia Indigenous Peoples Pact, Koalisi untuk Keadilan Tenure Indonesia dan, Rights and Resources Initiative. Catatan yang diterbitkan November 2020 itu menunjukkan kemunculan sejumlah undang-undang baru yang disebut justru mendukung bisnis namun mengorbankan hak masyarakat adat.
“Kerentanan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal telah diperparah oleh pandemi Covid-19. Kriminalisasi, korupsi, ancaman, kekerasan gender, industri ekstraktif, kelambanan negara dan akses terbatas pada informasi yang sesuai budaya semuanya telah diperburuk,” tulis kesimpulan dari laporan tersebut, Kamis (17/12).
Namun di samping itu juga ada beberapa aturan lain, seperti program bank tanah yang diatur lewat Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2020. Laporan tersebut menjelaskan, aturan ini akan mempercepat perampasan tanah masyarakat adat dan membahayakan keutuhan lanskap hutan alam.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 17 Tahun 2020 tentang Hutan Adat yang dinilai berpotensi memperumit pengakuan dan perlindungan hutan adat bagi masyarakat adat.
Selama pandemi pula, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 37 konflik agraria baru. Sebanyak 39 petani, masyarakat adat, dan nelayan yang ditangkap terkait konflik tersebut, sementara dua orang dinyatakan tewas.
Alih-alih memberikan perlindungan kepada masyarakat adat, laporan mendapati pemerintah justru memberikan stimulus dan kompensasi bagi korporasi dengan pendekatan yang berpotensi mengorbankan masyarakat.
Salah satunya dengan merevisi UU Mineral dan Batubara yang memberikan perusahaan pertambangan jaminan perpanjangan 10 tahun sebanyak dua kali, sehingga dianggap mendorong penguasaan industri terhadap kelompok tertentu.
Perpanjangan otomatis izin konsesi juga diberikan kepada konsesi perkebunan, hutan tanaman industri dan, bubur kayu melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Kebijakan lain, proyek cetak sawah atau food estate (lumbung pangan) didorong sebagai solusi krisis pangan–yang salah satunya juga didorong situasi pandemi Covid-19.
Pencetakan sawah bakal dilakukan pada 900 ribu hektar lahan di Kalimantan Tengah, Indonesia. Namun laporan tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari wilayah itu justru merupakan lahan pertanian tradisional masyarakat adat dan lahan gambut.
Sehingga proyek food estate dianggap berpotensi menyebabkan konflik agraria, perampasan tanah, dan akan membahayakan pencapaian Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDCs) untuk menekan perubahan iklim.
Secara lebih lengkap, rekan-rekan dapat mengunduh konten dan beberapa materi dari Narsumber dalam LINK berikut.