Tahun 2020 kehidupan manusia dihempaskan kondisi Pandemik Covid-19. Diawal pandemi masyarakat berhadap kepada keseriusan negara memperkuat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak masyarakat. Nyatanya kondisi berbeda, pandemi dijadikan parodi pejabat publik. Tanggapan lelucon inilah yang membuat kita tidak begitu yakin jika bencana akan segera berakhir, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemangku kebijakan. Pemerintah cenderung memprioritaskan peningkatan ekonomi dibandingkan mengambil kebijakan penanggulangan virus.
Yang membuat marah publik adalah justru pandemi dimamfaatkan pemerintah untuk menyusun kebijakan yang menimbulkan kekerasan struktural dan konflik agrarian. Lihatlah bagaimana Omnibus Law dipaksakan ditengah pandemi hingga menyulut amarah publik hingga harus mengorbankan diri turun kejalan. Alasan pandemi digunakan melegitimasi proyek Food Estate diberbagi wilayah dengan cara mengalihkan fungsikan hutan, dilakukan tanpa partisipasi dan mengabaikan hak-hak rakyat.
Sepanjang tahun 2020, ditingkat tapak Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berhasil mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak yang terjadi dimasa pendemik. Di Kalimantan Tengah, terjadi kriminalisasi terhadap buruh sawit dan peladang dan seolah mempersalahkan sistem berkebun mereka yang telah berlangsung sejak lama. Di Tanah Papua, deforestasi hutan terus berlanjut sejalan dengan kekerasan terhadap aktivis dan pembela HAM Lingkungan. Pelakunya justru aktor negara yang berkolaborasi dengan korporasi.
Kami menilai pandemi dan kebijakan pemerintah menciptakan kekerasan berlapis bagi masyarakat. Hal ini kami tuangkan kedalam Catatan Tahun 2020 bertajuk “Tak Surut Meski Pandemi: Potret Perjuangan HAM Atas Lingkungan Di Papua dan Kalimantan Tengah Sepanjang Tahun 2020” yang menggambarkan kritik kami terhadap kebijakan negara dan pendokumentasian, pendampingan Organisasi di tingkat tapak.
Dokumen Catatan Akhir Tahun tersebut dapat diakses
Selamat membaca!