Perusahaan kelapa sawit membabat hutan masyarakat adat di Kabupaten Sorong, Papua Barat (Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro
Dari April – Mei 2021 terdapat 12 izin konsesi sawit yang dicabut di Papua Barat. Putusan pencabutan izin tersebut dihasilkan atas pengkajian ulang 30 izin konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat (melalui Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan) dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun izin konsesi yang dicabut terletak di Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Manokwari Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, dan Fakfak. Surat keputusan yang kemudian dikeluarkan menyatakan pencabutan izin-izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit dan mengoreksi mengurangi luas areal izin usaha perkebunan yang masing-masing berada di enam wilayah kabupaten tersebut.
Surat keputusan pencabutan izin konsesi yang dikeluarkan oleh bupati dari enam kabupaten ini memuat keputusan pencabutan berdasarkan evaluasi yang dilakukan, juga poin pelanggaran dan rekomendasi. Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat sendiri meneyebutkan ada dua jenis pelanggaran yang sering dilakukan. Pertama, adanya pelanggaran dokumen legalitas atau administrasi perizinan, seperti pelanggaran kewajiban dalam Izin Usaha Perkebunan (IUP), proses perolehan hak atas tanah, pembangunan kebun inti dan kewajiban pembangunan plasma, tidak memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) saat melakukan land clearing, tidak melaporkan perubahan kepemilikan saham dan pengurus dan belum ada Hak Guna Usaha (HGU). Kedua, pelanggaran operasional, seperti perusahaan belum menyelesaikan pembangunan kebun inti, belum menyelesaikan kebun plasma, melakukan penanaman di lahan gambut; melakukan penanaman di kawasan hutan, melakukan penanaman lebih luas dari IUP dan tidak memiliki HGU.
Pengakajian ulang dan pencabutan izin konsesi ini berhasil dilaksanakan, selain karena adanya political will dari pemerintah daerah terkait, juga dimotori oleh adanya instrumen hukum/kebijakan berupa instruksi presiden (inpres) yang memungkinkan dilaksanakannya evaluasi izin. Kebijakan yang dimaksud adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit–dikenal juga dengan Moratorium Sawit. Inpres Moratorium Sawit ini menjadi satu landasan kuat untuk memperbaiki praktik perizinan usaha perkebunan yang keliru di Papua Barat.
Status lahan eks-konsesi pasca pencabutan izin kemudian jadi diperdebatkan. Di sisi lain, dalam konteks Papua, pemikiran bahwa status penguasaan lahan yang dikembalikan kepada Negara nampaknya bukan solusi yang tepat. Masyarakat adat Papua, sebagaimana disampaikan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA), sedari awal mempersoalkan tanah dan hutan adat mereka yang dialihkan secara paksa dan tanpa kesepakatan untuk izin usaha perkebunan, menuntut agar tanah dan hutan adat diakui sebagai milik masyarakat adat dan dikembalikan kepada penguasa dan pemilik tanah dan hutan adat untuk selanjutnya dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat setempat.
Merespon persoalan tersebut di atas, PUSAKA bersama dengan Koalisi Keadilan Tenure melaksanakan Diskusi Terfokus Pemulihan Hak Masyarakat Adat dan Lingkungan Papua pada 8 Juli 2021. Diskusi ini menghadirkan Prof. Hariadi Kartodihardjo (Tim Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi), Sopice Sawor (perwakilan Masyarakat Adat Tehit), Rikardo Simarmata (akademisi UGM), dan Asep Yunan Firdaus (praktisi hukum). Diskusi ini bertujuan, antara lain: (1) mengkritisi urgensi review izin dan relevansinya dengan perbaikan tata kelola dan pemulihan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan; (2) berdiskusi dan berbagai pengetahuan dan pengalaman terkait perkembangan kebijakan dan inisiatif pemenuhan dan pemulihan hak masyarakat adat pasca pencabutan izin, maupun upaya pengamanan dan pengelolaan sumber daya alam dan sumber mata pencaharian masyarakat; dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan dan pembelajaran untuk aksi advokasi pemulihan dan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah dan hutan adat, serta pengelolaan, dan pemanfaatan tanah pasca pencabutan izin.
Klik di sini untuk membaca notula lengkap hasil diskusi terfokus ini.