Negara menggunakan hukum sebagai basis legitimasinya dalam mengklaim penguasaan atas sumber daya alam yang menafikan hak-hak tradisional masyarakat sejak zaman kolonial hingga saat ini. Proses-proses pembacaan terhadap aturan hukum sebagai landasan kebijakan merupakan bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses-proses advokasi kebijakan maupun pengorganisasian masyarakat yang dilakukan. Oleh karenanya, keterampilan mengartikulasikan rumusan masalah beserta alternatif penyelesaiannya secara lugas dibutuhkan oleh para pembela lingkungan dan masyarakat. Policy brief, dalam hal ini menjadi salah satu alat yang bisa didorong oleh rekan-rekan masyarakat sipil sebagai refleksi dan mengambil celah-celah peluang dalam advokasi.
Policy brief dapat dikatakan sebagai alat komunikasi dan alat belajar untuk berdiksusi dengan pemangku kebijakan yang mendorong diambilnya tindakan baru oleh pemangku kebijakan tersebut. Tujuan policy brief sendiri untuk meyakinkan sasaran pembaca akan urgensi dari permasalahan yang sedang terjadi dan kebutuhan mengadopsi pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan. Selain itu perlu dipahami bahwa policy brief juga memiliki batasan: dia dikategorikan sebagai salah satu instrumen/alat yang dibutuhkan dalam proses advokasi (bukan akhir dari advokasi) yang ketika ia dikeluarkan maka kita tidak bisa berharap kebijakan akan otomatis berubah.
Rival Gulam Ahmad, narasumber dalam sesi pertama pelatihan ‘Mengenal dan Membuat Policy Brief’ yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial (Koalisi Tenure), menyatakan bahwa sayangnya policy brief ini lama-kelamaan seperti dianggap sama seperti naskah akademik yang jelas-jelas memiliki tujuan berbeda dengan policy brief. Menurutnya, terkadang desain grafislah yang membedakan antara keduanya. Atas dasar itu, penting untuk mempelajari policy brief yang memang ‘powerful’ dan ‘menggerakkan’—tidak hanya bagus secara desain, tapi ketika selesai dibaca maka pembacanya dapat belajar dan ingin bergerak sesuai dengan konten yang disajikan dalam policy brief tersebut.
Di dalam kegiatan ini, peserta pelatihan yang berasal dari 15 organisasi berbeda diajak untuk mengambil “jalan memutar” untuk memahami bagaimana policy brief harusnya disusun dan disampaikan kepada pihak pengambil kebijakan. Sesi pertama pelatihan tidak terlalu banyak membahas teknis penulisan (seperti pelatihan policy brief pada umumnya), namun disampaikan penjelasan mendasar mengenai cara menulis policy brief yang menggugah misalnya memahami bagaimana pengambil kebijakan merespons informasi, penggunaan jenis data/informasi yang tepat sesuai perubahan yang diinginkan terjadi, menyusun bahasa yang high concept dan high touch, serta teknik mempresentasikan policy brief kepada pembuat kebijakan dalam waktu yang relatif singkat.
Kapasitas pembuat kebijakan menyerap informasi dan ‘Kutukan Pengetahuan’
Sebuah penelitian longitudinal dilakukan NASA untuk melihat tingkat kreativitas/pemikiran meluas (divergent thinking) anak-anak Amerika. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak berusia 3-5 tahun adalah 98%, anak-anak usia 8-10 tahun adalah 30%, dan anak-anak berumur 13-15 tahun 12%, lalu orang berumur 18 tahun hingga dewasa tingkat divergent thinking-nya hanya tersisa 2% saja.
Kenapa anak-anak lebih tinggi tingkat kreativitasnya? Sejak masuk sekolah dasar, tingkat kreativitas anak menurun drastic. Hal ini diindikasikan terjadi karena ketika masuk sekolah terdapat penyeragaman standar dan otoritas benar-salah (guru dan buku) yang membatasi ruang kreativitas anak. Bermain di luar kelas menjadi hal yang membebaskan dan kelas menjadi ‘ruang penyiksaan’—anak-anak lalu memilih belajar dengan menghapal pola-pola yang sama karena dianggap lebih “aman” dan menghindarkan mereka dari hukuman. Setelah keluar dari sekolah, mereka adalah mayoritas orang dewasa dengan tingkat kreativitas 2% saja. Hal tersebut juga yang melatarbelakangi munculnya metode androgogi (metode pembelajaran orang dewasa yang dibentuk khusus karena orang dewasa lebih sulit belajar). Kesulitan orang dewasa untuk belajar juga ditengarai karena adanya “penyaring” pada orang dewasa yang membatasi masuknya pengetahuan baru. Penyaring itu berasal dari norma, nilai, ajaran agama, payung hukum, kepercayaan, dll. Dalam konteks ini, melebarkan kapasitas orang dewasa (para pemangku kebijakan) untuk belajar dan menerima pengetahuan baru menjadi penting supaya mereka tergerak untuk mempertimbangkan alternatif kebijakan yang ditawarkan dalam policy brief.
Selain itu ada istilah ‘curse of knowledge’ atau kutukan pengetahuan, yang mana informasi yang ingin disampaikan sudah dianggap jelas namun ternyata tidak dipahami oleh orang yang mendengarnya. Kondisi curse of knowledge ini hal yang mungkin terjadi kepada para penyusun policy brief yang sudah mengaggap informasi didalamnya sudah ringkas dan jelas, namun ternyata masih cukup kompleks sehingga tidak sepenuhnya dipahami para pemangku kebijakan. Oleh sebab itu mengetahui bagaimana cara pendengar atau pembaca memproses informasi yang disampaikan serta latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca policy brief ini menjadi penting sebelum policy brief ditujukan.
Memahami corak merespon infromasi dan gaya pengambilan keputusan
Menurut MBTI, terdapat 16 spektrum karakteristik manusia yang dibedakan antara Intuiting (N) dan Sensing (S), Feeling (F) dan Thinking (T), Introvert (I) dan Extrovert (E), dan Judging (J) dan Perceiving (P). Meskipun terkesan mensimplifikasi karakter manusia, tapi dengan mengetahuinya maka ini akan membantu memahami kecenderungan cara seseorang merespon pengetahuan/informasi.
Dalam konteks penyusunan policy brief, oleh karenanya penting untuk memahami gaya pengambilan keputusan pengambil kebijakan. Jika tidak mengenal pengambil keputusan, jangan-jangan perlu menyampaikan keempat policy input (visi, panduan, rasional, dan rincian–terlihat pada gambar di bawah) ke dalam policy brief untuk mempertinggi peluang diresponnya rekomendasi kebijakan. Memahami gaya kepemimpinan dan corak merespon informasi yang dimiliki seorang pengambil kebijakan merupakan salah satu strategi stretching supaya rekomendasi kebijakan yang diajukan dapat diterima pemangku kebijakan.
Jika ditarik ke konteks yang lebih luas perlu dipahami adanya pertandingan cerita serta informasi yang saling berlomba-lomba untuk direspon. Karenanya perlu dipahami juga bagaimana cara menyusun policy brief yang informasinya diterima dan langsung menginspirasi adanya tindakan. Dalam policy brief, data dapat disajikan untuk membangun emosi, emosi lalu membangun empati, yang kemudian empati ini akan membangun koneksi/respon/tindakan. Penggunaan bahasa, yang seringkali terlewatkan, menjadi hal yang menopang tersampaikannya pesan yang ingin disampaikan dalam policy brief.
Logika informasi yang disampaikan dalam policy brief dapat mengikuti alur Segitiga Pertanyaan. Misalnya dimulai dari kategori fakta (siapa, kapan, di mana), opini (apa dan bagaimana), lalu nilai (mengapa). Kategori lainnya yang dapat diikuti yaitu penjelasan dimulai dari feeling (simpati, persepsi, emosi, dan empati), lalu thinking (rencana, strategi, analisis, dan kesimpulan), dan diakhiri dengan acting (tindakan, prosedur, deskripsi). Cara bagaimana rekomendasi/pilihan kebijakan disampaikan mempengaruhi bagaimana respon pembuat kebijakan atas rekomendasi tersebut.
Ciri policy brief sendiri antara lain: fokus ke satu isu; profesional, bukan akademis; berbasis bukti/fakta; spesifik; ringkas-padat dan mudah dipahami; mudah diakses dan dapat disebarkan; berkesan atau meninggalkan kesan mendalam; dan praktis dan realistis, memberikan gambaran terkait langkah apa yang selanjutnya dapat diambil. Selain itu sistematika policy brief sendiri tersusun atas: (1) judul yang memikat, (2) ringkasan eksekutif yang kuat, (3) konteks dan signifikansi permasalahan yang spesifik, (4) tujuan kebijakan yang jelas, (5) pembahasan opsi-opsi kebijakan yang kritis dan kreatif, (6)rekomendasi kebijakan yang tegas, dan (7) sumber-sumber dan referensi lanjutan yang luas.
Seni Pesentasi
‘Satu-satunya alasan untuk berpidato adalah untuk mengubah dunia”- JF. Kenedy
Suara yang diberikan, melalui pidato, adalah kesempatan untuk mengubah atau memperbaiki diri sendiri sebelum benar-benar mengubah dunia. Ubahlah persepsi bahwa ketika diberi kesempatan melakukan presentasi, inti dari presentasi adalah anda sendiri (presenter) dan kita memiliki hal yang penting untuk disampaikan. Lalu dalam presentasi penting untuk menyiapkan slide presentasi, notes, dan handout.
Dalam policy brief, seringkali kita menyajikan data saja padahal data harus dapat diolah agar dia dapat bercerita. Mengapa cerita lebih menggerakkan? Karena cerita mengandung hikmah, berbagi pengalaman, memancing visual, dan koneksi emosional yang sama yang memancing untuk bergerak/melakukan tindakan. Elemen cerita yang menarik adalah adanya karakter atau tokoh (tidak dapat ditampilkan dalam policy brief, tapi dapat disampaikan ketika presentasi: entah diri sendiri, masyarakat, atau kenalan); adanya hook; adanya dialog dan kutipan; adanya konflik dan ketegangan; dan membangun rasa penasaran.
Visual presentation atau presentasi visual hadir untuk membantu para pendengar memvisualisasikan apa yang kita katakan—terutama karena 50% audience kita adalah visual thinker. Namun bagaimanapun presentasi hanyalah penunjang karena inti dari presentasi tersebut adalah diri kita sendiri. Dalam merancang slide presentasi, informasi yang disajikan harusnya memiliki: (1) relevansi untuk pemirsa/pendengar, (2) elemen visual (teks, gambar, latar), (3) data dan diagram, serta (4) aransemen (kontras, komposisi, hirarki, alur, blank space).
Sebagai penutup sesi pelatihan pertama, Rival menyampaikan bahwa pada hakikatnya knowledge to policy merupakan satu proses yang panjang. Analisi kebijakan tidak ada benar-salah, namun persoalannya berpusat pada seberapa kuat-lemahnya analisis kebijakan tersebut. Membahas paradigma dalam policy brief harusnya menjadi halus (subtle) dalam policy brief, dengan menyajikan dampak atau turunan dari paradigma tersebut.
Sesi kedua pelatihan Mengenal dan Membuat Policy brief yang diadakan oleh Koalisi untuk Kedilan Tenur ini selanjutnya akan dilaksanakan pada 30 Oktober 2021. Menuju waktu tersebut, akan dilaksanakan sesi mentoring yang mensupervisi peserta pelatihan dalam menyusun policy brief-nya masing-masing untuk kemudian dipresentasikan pada sesi pelatihan kedua mendatang.
Lebih lanjut terkait dengan Materi dari Narasumber dan Rekaman Video dapat disaksikan dengan mengklik link berikut.