Sebagai koalisi yang memperjuangkan hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal atas tanah, hutan, dan kekayaan alamnya, Koalisi Tenur memberikan dukungan taktis maupun strategis di lapangan bagi organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk terus memperjuangkan keadilan tenurial. Melalui dana Dukungan Lapangan Koalisi Tenure di tahun 2021, lima organisasi penerima dana mengorganisir serangkaian kegiatan yang bertujuan memperjuangkan hak-hak tenurial masyarakat dengan orientasi pada perubahan atau advokasi di level kebijakan dan advokasi di level akar rumput.
- Hasil yang Dicapai
Advokasi di level kebijakan. Di Kabupaten Pidie, Aceh; perubahan peta usulan wilayah adat dan Hutan Adat Mukim Beungga, Mukim Paloh dan Mukim Kunyet telah disampaikan kepada Pemerintah Daerah melalui Asisten I Setdakab Pidie. Kegiatan diskusi di tingkat mukim dan seri diskusi advokasi Gerakan Masyarakat Adat dengan pemerintah daerah berkontribusi terhadap perubahan peta Usulan selain juga mendukung agenda dari Dinas Pertanahan Kabupaten Pidie dan Dinas Pertanahan Aceh terkait dengan Identifikasi dan Inventarisasi tanah Ulayat di Kabupaten Pidie dan Provinsi Aceh. Sedangkan upaya Masyarakat Adat Tau Taa Wana di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah untuk memasukkan hutan adat dan wilayah adatnya ke dalam Rancangan Perda RTRW Provinsi Sulawesi Tengah tercapai melalui serangkaian konsolidasi di tingkat tapak, lokakarya beda perda, audiensi dengan pemda, dan kegiatan pengawalan lainnya.
Advokasi di level akar rumput. Penelitian Etnoekologi Perladangan dilakukan dengan melibatkan partisipasi bermakna anak muda adat Rejang di Kabupaten Lebong, Bengkulu yang bertujuan meregenerasi pengetahuan lokal tentang aspek-aspek dalam sistem tenurial yang saat ini mulai dilupakan oleh generasi muda adat. Tidak hanya melatih peneliti muda dan mendokumentasikan temuan lapangan menjadi film, kegiatan penelitian ini menjadi satu siklus manajemen pengetahuan lokal (local knowledge management) yang ‘mengembalikan’ pengetahuan ke masyarakat melalui kegiatan diseminasi di komunitas selain audiensi dengan Pemda Lebong untuk menggalang dukungan yang lebih kuat upaya pendokumentasian tradisi lokal. Kegiatan pertanian organik yang aktif dilakukan oleh perempuan Desa Pangkoh Sari di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, di sisi lain, merupakan upaya revitalisasi kearifan lokal bercocok tanam di lahan gambut yang sempat terputus sejak dikeluarkannya larangan bertani dengan membakar lahan pada tahun 2016. Sejak saat itu kasus konversi lahan menjadi perkebunan kayu, buah-buahan, dan kelapa sawit pun juga kian meningkat. Aktivitas pertanian kelompok perempuan Desa Pangkoh Sari kemudian mendapat dukungan pemerintah desa dengan dikeluarkannya Peraturan Desa Pangkoh Sari No.12 Tahun 2021 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Gambut Desa Pangkoh Sari serta dukungan Dinas Pertanian Pemkab Pulang Pisau. Konsolidasi bersama komunitas adat di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan dilakukan dengan tujuan menyusun peta jalan advokasi untuk persiapan verifikasi dan pengawalan proses-proses penetapan hutan adat di wilayah adatnya. Kegiatan sosialisasi mengenai perda dan perbup terkait dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat dan pemerintah untuk memastikan bahwa memahami peluang penetapan dan langkah-langkah verifikasi teknis penetapan hutan adat.
- Pendekatan dalam Proses
Pendekatan yang diaplikasikan sepanjang implementasi proyek yang didanai oleh skema Dukungan Lapangan Koalisi Tenure 2021 adalah pendekatan inklusi sosial, kesetaraan gender, dan inklusi sosial. Pendekatan bottom-up dilakukan pada “arena kampung”, misalnya dengan mendorong partisipasi Masyarakat Adat Tau Taa Wana untuk merancang dan merumuskan serta memutuskan agenda/rencana aksi penguatan lembaga adat. Semua aktivitas dilakukan dengan mengedepankan kolaborasi para pihak dan penyandang hak (rightsholder) tanpa membedakan status sosial, suku, agama, dan kepercayaan serta mendorong keterlibatan aktif perempuan.
Dalam proses pemilihan calon peneliti muda dari Masyarakat Adat Rejang, calon peneliti dipilih berdasarkan latar belakang relasi gendernya–sehingga profil peneliti tersebut sangat beragam– meskipun tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam komposisi para peneliti yang direkrut, terdapat 2 orang laki-laki feminin yang bekerja sebagai tukang jahit dan anak bakul (mengangkut padi dari lahan sawah ke desa). Kedua laki-laki tersebut, tidak dipandang baik oleh masyarakat desa, selain karena mereka laki-laki feminin, mereka masih sangat muda yakni baru menyelesaikan sekolah menengah atas 1 tahun yang lalu. Dalam proses penyusunan metode penelitian, pengetahuan apa yang ingin peneliti muda gali sebagai bagian dari masyarakat adat–khususnya terkait dengan sistem perladangan itu sendiri–menjadi hal yang dikedepankan.
- Pembelajaran
Berikut adalah pembelajaran yang diperoleh dari (rangkaian) kegiatan dalam konteks mendorong akses lahan bagi masyarakat demi keadilan tenurial:
1. TFLC (Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah)
Akses dan kesempatan. Kegiatan Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Pangkoh Sari menunjukkan bahwa ketika perempuan diberikan kesempatan dan ruang untuk berkegiatan, mereka mampu melakukan aktivitas pertanian yang memberikan manfaat peningkatan pendapatan keluarga dan memproduksi tanaman sayur yang sehat/organik serta memenuhi kebutuhan sayuran di wilayah desa dan kecamatan.
Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. KWT Pangkoh Sari memberikan gambaran mengenai upaya menjaga dan melindungi lahan pertanian yang ada dari ekspansi perkebunan sawit, sengon atau alih fungsi lahan lainnya. Dukungan atas kegiatan pertanian organik KWT Desa Pangkoh Sari menghasilkan kesepakatan bersama pemerintah Desa Pangkoh Sari dan BPD yang kemudian menerbitkan Peraturan Desa No.12 Tahun 2021 tentang Tata Guna Lahan Pertanian Gambut. Kepemilikan bersama atas inisiatif ini dengan melibatkan masyarakat Desa Pangkoh Sari lainnya dalam setiap kegiatan di lahan pertanian, baik seri pelatihan sekolah lapang atau praktik budidaya.
2. AMAN Toraya (Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan)
Proses yang dilakukan dengan pendekatan yang adaptif dan lentur perlu didorong sehingga mempermudah para pihak dalam mencapai tujuan Bersama dengan menganut pemberdayaan semua pihak: membuka “ruang” pembelajaran transformatif. Selain itu, penting memposisikan aturan adat sebagai rujukan utama dalam berkegiatan serta mengembangkan proses penyusunan pengakuan dan pengelolaan wilayah adat. Di sisi lain, batas wilayah administratif seharusnya merujuk kepada batas wilayah adat.
3. JKMA (Kabupaten Pidie, Aceh)
Pengelolaan sumber daya alam sebagai basis pemberdayaan. Pelaksanaan kegiatan yang meletakkan pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, pada tingkat komunitas berkontribusi terhadap peluang pemanfaatan sumber daya hutan non kayu serta mengurangi dampak kejadian-kejadian yang akan menimbulkan risiko dan konflik pada masa mendatang.
Peluang kolaborasi dengan pemda. Ada kolaborasi kegiatan untuk percepatan Penetapan Hutan Adat Mukim di Kabupaten Pidie dengan Dinas pertanahan Aceh, Dimana di Dinas Pertanahan Aceh untuk Tahun 2021 ini akan Melakukan Identifikasi dan inventarisasi Masyarakat Hukum Adat dan Lokasi Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, dimana salah Satu lokasinya yaitu di Mukim Beungga Kecamatan Tangse, Mukim Kunyet kecamatan Padang Tiji dan Mukim Paloh Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie. Dimana nantinya data ini akan digunakan oleh Pemerintah Aceh dalam Menetapkan wilayah adat di Aceh.
4. AKAR (Kabupaten Lebong, Bengkulu)
Regenerasi pengetahuan adat kepada generasi muda adat Rejang dapat memperkuat dan memperluas dukungan sosial kepada masyarakat adat untuk memperjuangkan hak- hak ulayatnya. Sebab selama ini tidak sedikit masyarakat adat lainnya di desa yang skeptis terhadap perjuangan masyarakat adat sebab: (1) mereka tidak tahu/mengerti apa yang sedang diperjuangkan oleh masyarakat adat, (2) masyarakat pesimis akan capaian perjuangan tersebut, dan (3) Stigma bahwa masyarakat adat itu kuno dan primitif.
Rekomendasi bagi pemda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Peneliti Muda Progresif (PMP) dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah agar menyusun kebijakan berbasis riset yang memiliki data sosial yang valid, menghormati nilai-nilai kearifan lokal dan pragmatis (daily problem solving).
5. YMP (Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah)
Dinamika regulasi dan peluang advokasi. Perubahan regulasi terkait isu Penataan Ruang dan Hutan Adat pasca terbit UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seperti PP No.21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan PP No. No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan serta berbagai turunannya dalam bentuk Permen (baik Kementerian ATR maupun LHK), menuntut aktivis untuk meningkatkan pengetahuannya secara terus-menerus untuk kerja-kerja advokasi kebijakan. Hal ini berimplikasi pada pengetahuan terkait kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Misalnya, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk integrasi (Kawasan) hutan adat ke dalam Rencana Tata Ruang.
Relasi saling percaya. Hubungan yang terbangun atas asas saling percaya antara aktivis organisasi dengan para pihak di level provinsi (Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga & Penataan Ruang serta Akademisi) sangat membantu dalam proses advokasi kebijakan. Misalnya, protokol berbagi data (termasuk Peta SHP) dan dokumen lainnya sangat mudah diakses oleh masyarakat sipil di level provinsi.
- Langkah Tindak Lanjut
Beberapa langkah tindak lanjut yang telah direncanakan oleh masyarakat serta organisasi pendamping dalam skema Dukungan Lapangan Koalisi Tenure 2021 antara lain:
- Pengembangan komoditas dan perluasan lahan pertanian organic melalui skema pendampingan lokal sekolah lapang petani untuk masyarakat, khususnya kelompok perempuan.
- Perlu asistensi yang lebih intensif ke pemda kabupaten untuk membentuk Satuan Kerja yang mengakomodir hak-hak masyarakat adat dan produk hukum (turunan) berupa Peraturan Bupati dan atau Keputusan Bupati sebagai wujud implementasi perda.
- Perlu memperluas jangkauan pengorganisasian masyarakat adat di beberapa satuan mukim (lipu) lainnya agar akses informasi dan berkembangnya kesadaran kritis merata di semua kelompok masyarakat adat.
- Membangun kolaborasi/sinergitas dengan pemerintah lokal maupun pemerintah kabupaten untuk mengawal proses verifikasi lapangan atas usulan penetapan hutan adat.
- Melakukan penguatan bagi masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah adat dan hutan adat.
- Memperluas aspek-aspek penelitian etnoekologi misalnya; aspek ethnomedicine, local and wild food, dll.
- Membangun kerangka advokasi alternatif berbasis knowledge management system.